*Orang tua macam apakah kita?* ๐ค
๐ชJika dianalogikan orang tua seperti seorang tukang kayu, apakah ayah bunda sepakat?
Pertanyaan ini pernah saya lemparkan kepada peserta training parenting di beberapa tempat. Kebanyakan mengatakan : setuju. Mengapa? Telisik saya.
Ya, karena orang tua butuh telaten untuk mencetak anak2 yg baik. Butuh diperhitungkan dg benar, bahkan kalau perlu harus sudah ada bayangan mau dibikin apa dan polanya bagaimana. Mau dibikin meja, kursi, atau lemari. Kalau mau dibikin lemari, mau yang dua pintu atau tiga pintu?
Apakah memang demikian? ๐
Teringat di salah satu sesi workshop yg pernah saya selenggarakan kala itu. Saya meminta para orang tua yang hadir untuk menuliskan harapan kelak ananda akan menjadi apa. Beragam. Mulai dari yg mengharap ananda jd penghafal Qur'an, jadi pebisnis, bahkan secara eksplisit menyebut salah satu kampus di salah satu negara Eropa sebagai tujuan kuliahnya meski saat ini ananda jg belum lulus sekolah dasar.
Apakah tepat? Entahlah, bisa ya bisa tidak. Saya hanya khawatir harapan ini tdk lebih dari sebuah obsesi orang tua yg tdk tercapai pada diri mereka dahulu kala. ๐ท
Saya hanya khawatir jangan2 justru ananda tidak ingin menjadi seperti apa yg orang tua mereka harapkan. ๐
Pasangan dokter di salah satu kota menjadi hikmah besar bagi saya saat mendengar kisahnya. Ananda di gadang2 menjadi penerus orang tuanya sebagai seorang dokter. Masuk kuliah kedokteran, melewati tahun demi tahun hingga ia pun mendapatkan gelar yg diharapkan orang tuanya. Namun mengejutkan saat di suatu hari ananda mengatakan : papa, mama, saya sudah menjadi dokter spt yg papa mama inginkan. Foto pelantikan sudah terpajang di ruang tamu kita. Ijazah ini pun sudah bisa saya serahkan pada papa dan mama. Maka sekarang, ijinkan aku mengejar impian yg selama ini aku simpan. Aku akan buka cafe dan menekuni dunia bisnis yg membuatku bahagia.
Sayang. Bukan hanya uang, tenaga, dan pikiran yg terbuang. Namun juga waktu berharga yg tak mungkin kembali di beli. ๐
Maka jika masih saja ada orang tua yg memaksakan kehendaknya agar ananda menjadi sosok seperti yg diharapkan orang tua (bukan tentang akhlak dan aqidah), maka bisa jadi mereka masuk kategori orang tua sang tukang kayu.
Apakah kita demikian? Semoga tidak.
๐Jika orang tua dianalogikan sebagai peternak ayam, bagaimana?
Pernah berkunjung ke peternakan ayam? Atau minimal pernah lihat gambar atau videonya. Semua ayam diperlakukan sama. Makan satu makan semua. Di siram satu di siram semua. Semua diperlakukan seragam.
Apakah ada orang tua model peternak ayam seperti ini? Banyak. Melihat capaian anak orang lain yg seusia dg anaknya, jadi baper. Baca status di beranda FB ttg anak teman yang sepantaran sudah bisa ini itu, ikut galau. Kok anakku gak bisa? Kok anakku gak seperti dia. Dst dst.
Padahal tiap anak itu unik bukan? Tak bisa disamaratakan sebagaimana ayam2 di peternakan.
Apa yang cocok buat anak kita, belum tentu sesuai dg anak org lain. Apa yang menjadi kelebihan ananda, bs jd bertolak belakang dg kelebihan anak org lain. Jangan paksakan kelinci pandai berenang, sebagaimana jangan menuntut kura2 lihai memanjat. Karena tiap mereka diciptakan *UNIK*๐
๐ฝLalu jika orang tua dianalogikan seorang petani, apakah tepat ? Menurut saya logika petani lebih masuk dari pada sbg tukang kayu maupun peternak ayam.
Ibarat saat ini di tangan saya tergenggam sebuah biji pohon jati, jika saya tanam di daerah pegunungan, apakah ia akan hidup? Ya, ia akan tetap bertahan hidup. Namun benih ini tak akan pernah tumbuh maksimal. Karena pohon jati perlu lingkungan yang tepat. Tanah yg tandus, cuaca yg kering, hawa yang panas. Bukan sebaliknya. Maka jika ia dipaksakan tumbuh di tempat yang tdk sesuai dg karakteristiknya, maka jangan harap menemukan dirinya yg berkualitas. Pun begitu jg dengan anak2 kita.
Sudahkah kita tahu apa sejatinya "benih" anak2 kita?
Lalu dimanakah posisi kita saat ini ? Apakah laksana tukang kayu, peternak ayam atau seorang petani? ๐
Mari belajar lagi menjadi orang tua. Karena siap tidak siap, amanah besar ini akan kita pertanggungjawabkan kelak dihadapanNya ❗
Sumber : bundaeuis.wordpress.com
๐ชJika dianalogikan orang tua seperti seorang tukang kayu, apakah ayah bunda sepakat?
Pertanyaan ini pernah saya lemparkan kepada peserta training parenting di beberapa tempat. Kebanyakan mengatakan : setuju. Mengapa? Telisik saya.
Ya, karena orang tua butuh telaten untuk mencetak anak2 yg baik. Butuh diperhitungkan dg benar, bahkan kalau perlu harus sudah ada bayangan mau dibikin apa dan polanya bagaimana. Mau dibikin meja, kursi, atau lemari. Kalau mau dibikin lemari, mau yang dua pintu atau tiga pintu?
Apakah memang demikian? ๐
Teringat di salah satu sesi workshop yg pernah saya selenggarakan kala itu. Saya meminta para orang tua yang hadir untuk menuliskan harapan kelak ananda akan menjadi apa. Beragam. Mulai dari yg mengharap ananda jd penghafal Qur'an, jadi pebisnis, bahkan secara eksplisit menyebut salah satu kampus di salah satu negara Eropa sebagai tujuan kuliahnya meski saat ini ananda jg belum lulus sekolah dasar.
Apakah tepat? Entahlah, bisa ya bisa tidak. Saya hanya khawatir harapan ini tdk lebih dari sebuah obsesi orang tua yg tdk tercapai pada diri mereka dahulu kala. ๐ท
Saya hanya khawatir jangan2 justru ananda tidak ingin menjadi seperti apa yg orang tua mereka harapkan. ๐
Pasangan dokter di salah satu kota menjadi hikmah besar bagi saya saat mendengar kisahnya. Ananda di gadang2 menjadi penerus orang tuanya sebagai seorang dokter. Masuk kuliah kedokteran, melewati tahun demi tahun hingga ia pun mendapatkan gelar yg diharapkan orang tuanya. Namun mengejutkan saat di suatu hari ananda mengatakan : papa, mama, saya sudah menjadi dokter spt yg papa mama inginkan. Foto pelantikan sudah terpajang di ruang tamu kita. Ijazah ini pun sudah bisa saya serahkan pada papa dan mama. Maka sekarang, ijinkan aku mengejar impian yg selama ini aku simpan. Aku akan buka cafe dan menekuni dunia bisnis yg membuatku bahagia.
Sayang. Bukan hanya uang, tenaga, dan pikiran yg terbuang. Namun juga waktu berharga yg tak mungkin kembali di beli. ๐
Maka jika masih saja ada orang tua yg memaksakan kehendaknya agar ananda menjadi sosok seperti yg diharapkan orang tua (bukan tentang akhlak dan aqidah), maka bisa jadi mereka masuk kategori orang tua sang tukang kayu.
Apakah kita demikian? Semoga tidak.
๐Jika orang tua dianalogikan sebagai peternak ayam, bagaimana?
Pernah berkunjung ke peternakan ayam? Atau minimal pernah lihat gambar atau videonya. Semua ayam diperlakukan sama. Makan satu makan semua. Di siram satu di siram semua. Semua diperlakukan seragam.
Apakah ada orang tua model peternak ayam seperti ini? Banyak. Melihat capaian anak orang lain yg seusia dg anaknya, jadi baper. Baca status di beranda FB ttg anak teman yang sepantaran sudah bisa ini itu, ikut galau. Kok anakku gak bisa? Kok anakku gak seperti dia. Dst dst.
Padahal tiap anak itu unik bukan? Tak bisa disamaratakan sebagaimana ayam2 di peternakan.
Apa yang cocok buat anak kita, belum tentu sesuai dg anak org lain. Apa yang menjadi kelebihan ananda, bs jd bertolak belakang dg kelebihan anak org lain. Jangan paksakan kelinci pandai berenang, sebagaimana jangan menuntut kura2 lihai memanjat. Karena tiap mereka diciptakan *UNIK*๐
๐ฝLalu jika orang tua dianalogikan seorang petani, apakah tepat ? Menurut saya logika petani lebih masuk dari pada sbg tukang kayu maupun peternak ayam.
Ibarat saat ini di tangan saya tergenggam sebuah biji pohon jati, jika saya tanam di daerah pegunungan, apakah ia akan hidup? Ya, ia akan tetap bertahan hidup. Namun benih ini tak akan pernah tumbuh maksimal. Karena pohon jati perlu lingkungan yang tepat. Tanah yg tandus, cuaca yg kering, hawa yang panas. Bukan sebaliknya. Maka jika ia dipaksakan tumbuh di tempat yang tdk sesuai dg karakteristiknya, maka jangan harap menemukan dirinya yg berkualitas. Pun begitu jg dengan anak2 kita.
Sudahkah kita tahu apa sejatinya "benih" anak2 kita?
Lalu dimanakah posisi kita saat ini ? Apakah laksana tukang kayu, peternak ayam atau seorang petani? ๐
Mari belajar lagi menjadi orang tua. Karena siap tidak siap, amanah besar ini akan kita pertanggungjawabkan kelak dihadapanNya ❗
Sumber : bundaeuis.wordpress.com
Comments
Post a Comment