‘Aqil Baligh versus Kedewasaan?
Wulan Saroso
Ketika ada kesempatan berbincang dengan para ibu tentang remaja atau di postingan media sosial kadang-kadang saya menemui semacam keluhan atau keresahan kecil seperti ini.
“Anak saya sudah baligh tapi belum aqil juga, gimana ya caranya?”
“Sudah mau 15 tahun usianya, tapi belum juga aqil. Rasanya gagal mendidik…”
“Anak saya sudah ada tanda-tanda mau baligh, tapi saya belum siap mendidiknya jadi aqil.”
Mendapati pernyataan-pernyataan seperti itu, kadang saya menanyakan kembali apa yang dipahami mengenai makna aqil baligh. Jawabannya rata-rata kurang lebih sama, yaitu anak yang sudah dewasa mampu mandiri bahkan bisa mulai memikirkan bagaimana cara menghidupi diri sendiri, misal sudah mampu mengambil keputusan sendiri, sudah bisa berpenghasilan dan sebagainya. Dari sanalah saya bisa mengerti mengapa begitu besar keresahan para ibu yang menghadapi anak-anaknya menjelang atau menjalani aqil baligh.
Agar kegundahan berjawab dengan kemudahan, mari kita sama-sama menilik lagi makna dari kalimat aqil baligh “عاقل بالغ”. Setiap manusia, dalam proses tumbuh kembangnya dari lahir hingga dewasa akan mengalami fase-fase perubahan dari sisi biologis, psikologis dan kemampuan intelektual. Di mana antara manusia satu dengan yang lain mengalami momentum masa yang berbeda-beda. Namun secara umum, ada masa di mana terjadi perubahan yang menjadi pembeda dalam kapasitas pembebanan hukum syariat dalam khazanah Islam kepada seseorang, yaitu masa aqil baligh.
Masa aqil baligh secara sunatullah akan terjadi pada proses tumbuh kembang seorang anak. Masa ini merupakan fase perubahan dari masa kanak-kanak (thufulah “طفولة”) ke masa remaja (murohaqoh "مراهقة") yang kemudian berproses membentuk kematangan dan kedewasaan menjadi manusia dewasa. Maka adalah keniscayaan bahwa seorang anak manusia akan menjalani masa ‘aqil baligh.
Masa baligh “بالغ” adalah masa di mana seorang anak mengalami perubahan kondisi biologisnya berupa pematangan organ reproduksi mampu untuk membuahi atau dibuahi. Sehingga dengan demikian saatnya ia menerima beban atau taklif yang disyariatkan oleh Islam yang sebelumnya tidak berlaku baginya. Maka ia pun disebut mukallaf atau orang yang dibebani. Sebelum mencapai masa mukallaf, seorang anak melalui proses masa tamyiz atau masa di mana ia mengenal perbedaan akan banyak hal di kehidupannya, yaitu ketika menginjak usia 7 tahun. Misal, seorang anak kecil tidak merasa malu bila tidak mengenakan pakaian di depan orang lain, sementara anak yang menginjak pada fase tamyiz akan merasa malu bila telanjang di depan orang lain. Anak pada fase ini disebut sebagai mumayyiz.
Di antara ciri bahwa anak telah sampai pada masa baligh adalah mimpi basah atau ihtilaam untuk anak lelaki.
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Dan apabila anak-anakmu telah ihtilaam, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (QS. An-Nuur [24]: 59)
Dan menstruasi untuk anak perempuan.
Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang mengalami haid, kecuali dengan memakai kerudung.” (HR. Abu Dawud no. 641, Ibnu Majah no. 655, shahih)
Atau bila tidak terjadi mimpi basah atau haid, maka seorang anak dikatakan baligh bila telah mencapai usia 15 tahun.
Nafi berkata “Telah menceritakan kapadaku Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menawarkan diri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ikut dalam perang Uhud. Saat itu umurnya masih empat belas tahun, namun beliau tidak mengijinkannya. Kemudian dia menawarkan lagi pada perang Khandaq. Saat itu usiaku lima belas tahun dan beliau mengijinkanku.”
Nafi’ berkata, “Aku menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Saat itu dia adalah khalifah, lalu aku menceritakan hadits ini. Dia berkata, “Ini adalah batas antara anak kecil dan orang dewasa (baligh).” Kemudian dia menulis kepada para gubernurnya untuk membebani kewajiban bagi mereka yang telah berusia lima belas tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara makna ‘Aqil عاقل"“ adalah berakal yang merupakan syarat dari berlakunya pembebanan syariat terhadap seorang anak yang sudah baligh. Bila ia tidak berakal, maka gugurlah semua pembebanan itu. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis (orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh." (HR Bukhari). Tiga jenis orang tersebut dikatagorikan sebagai orang yang tidak berakal. Sehingga dalam hal ini, makna ‘aqil tidak berkaitan dengan kedewasaan atau kematangan (maturity) seseorang. ‘Aqil adalah sebuah penekanan bahwa ketika seorang anak memasuki masa baligh setelah menjalani masa tamyiz dan kemudian memiliki kemampuan mengenali segala macam perbedaan misal antara yang benar dan salah, perbedaan waktu, perbedaan tempat dan sebagainya maka ia pun dikatakan berakal.
Bila masa ‘aqil baligh secara alamiah akan dialami oleh seseorang tanpa harus diupayakan, berbeda dengan kedewasaan, kematangan atau kearifan seseorang tidak secara otomatis ada saat seseorang mencapai masa ‘aqil baligh. Kematangan (maturity) seseorang perlu didesain dan dibangun dan itu bisa terjadi di sepanjang usianya hingga dewasa dan menua. Hal ini tertuang pada makna rusydun “رشد” pada Al Qur’an surah AnNisa (4) : 6
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِيرا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبا
"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka *telah cerdas (pandai memelihara harta)*, maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas."
Tafsir Al Munir yang disusun oleh Prof. Dr. Wahbah AzZuhaili menjelaskan makna rusyd adalah keadaaan seseorang yang telah mencapai ‘aqil baligh dan memiliki kemampuan dan kapasitas yang mencukupi untuk mengelola harta secara baik dan benar. Sehingga dari sini bisa juga dipahami bahwa ada tahapan kematangan dan kedewasaan yang dinilai dari sisi kemampuan mengelola keuangan setelah seseorang mencapai masa ‘aqil baligh. Namun bukan sebuah tuntutan mutlak bahwa ketika seseorang telah mencapai masa ‘aqil baligh, maka dia harus sudah juga mencapai tahapan rusydun “رشد”.
Di sisi lain, pemaknaan kematangan dan kedewasaan juga dijelaskan Al Qur’an dengan kata asyuddun “اشد” yang di antaranya ada pada surah Yusuf (12) : 22
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Dan ketika dia *telah cukup dewasa* Kami berikan kepadanya kekuasaan dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Kata asyuddun “اشد” dimaknai sebagai masa di mana kematangan dan kedewasaan fisik dan psikisnya telah seimbang yaitu di antara usia 25 – 40 tahun. Hal ini diperkuat oleh ayat yang juga tertulis di dalamnya kata asyuddun “اشد” yaitu di surah Al Ahqaf (46) : 15
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي
فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Di antara hikmah dari ayat tersebut bahwa hingga usia 40 tahun, seseorang masih berhak mendapatkan perhatian, perawatan dan pendidikan dari orang tuanya. Sehingga kemudian ketika tiba usia puncak kedewasaan yaitu ia berdoa meluapkan rasa syukur atas pencapaian pada tahap kearifan dan berterimakasih atas segenap kasih sayang dan bimbingan orang tuanya.
Maka, dalam khazanah Islam proses tumbuh kembang seseorang dapat dikatagorikan sebagai berikut :
1. Tamyiz : seseorang sudah memasuki masa penguatan aspek kognitif yang sudah didahului dengan pendidikan psikomotorik dan afektif sehingga mampu mengenali dan membedakan hal yang baik dan tidak baik, pantas dan tidak pantas, waktu, tempat dan sebagainya. (Orangnya disebut mumayyiz)
2. ‘Aqil : seseorang yang memiliki kemampuan akal setelah menjalani fase tamyiz dan mampu secara sadar diberi kewajiban beban syariat.
3. Baligh : seseorang yang telah mencapai kematangan biologis di mana organ reproduksi sudah siap membuahi atau dibuahi. (Bila kondisi ‘aqil baligh terpenuhi pada diri seseorang, maka dia disebut mukallaf)
4. Rusydun : seseorang yang memiliki kemampuan kematangan psikologis untuk mengelola harta atau keuangan secara mandiri dan bertanggung jawab.
5. Asyuddun : seseorang yang telah mencapai fase puncak kematangan dan kedewasaan
Secara sederhana, pendidikan anak adalah keniscayaan tindakan sepanjang hayat. Karena hakikatnya, anak akan tetap disebut anak sampai usia renta sekalipun. Tahapan perkembangan dalam fase usia manusia adalah gambaran bagaimana orang tua berinteraksi dengan anak sesuai tahapannya. Sehingga proses pendidikan anak selalu mengikuti aspek perkembangan fisik dan psikis yang memanusiakan manusia.
Allahu a’lam bishshowab
Sumber
http://wulansaroso.com/2020/01/21/aqil-baligh-versus-kedewasaan/
Wulan Saroso
Ketika ada kesempatan berbincang dengan para ibu tentang remaja atau di postingan media sosial kadang-kadang saya menemui semacam keluhan atau keresahan kecil seperti ini.
“Anak saya sudah baligh tapi belum aqil juga, gimana ya caranya?”
“Sudah mau 15 tahun usianya, tapi belum juga aqil. Rasanya gagal mendidik…”
“Anak saya sudah ada tanda-tanda mau baligh, tapi saya belum siap mendidiknya jadi aqil.”
Mendapati pernyataan-pernyataan seperti itu, kadang saya menanyakan kembali apa yang dipahami mengenai makna aqil baligh. Jawabannya rata-rata kurang lebih sama, yaitu anak yang sudah dewasa mampu mandiri bahkan bisa mulai memikirkan bagaimana cara menghidupi diri sendiri, misal sudah mampu mengambil keputusan sendiri, sudah bisa berpenghasilan dan sebagainya. Dari sanalah saya bisa mengerti mengapa begitu besar keresahan para ibu yang menghadapi anak-anaknya menjelang atau menjalani aqil baligh.
Agar kegundahan berjawab dengan kemudahan, mari kita sama-sama menilik lagi makna dari kalimat aqil baligh “عاقل بالغ”. Setiap manusia, dalam proses tumbuh kembangnya dari lahir hingga dewasa akan mengalami fase-fase perubahan dari sisi biologis, psikologis dan kemampuan intelektual. Di mana antara manusia satu dengan yang lain mengalami momentum masa yang berbeda-beda. Namun secara umum, ada masa di mana terjadi perubahan yang menjadi pembeda dalam kapasitas pembebanan hukum syariat dalam khazanah Islam kepada seseorang, yaitu masa aqil baligh.
Masa aqil baligh secara sunatullah akan terjadi pada proses tumbuh kembang seorang anak. Masa ini merupakan fase perubahan dari masa kanak-kanak (thufulah “طفولة”) ke masa remaja (murohaqoh "مراهقة") yang kemudian berproses membentuk kematangan dan kedewasaan menjadi manusia dewasa. Maka adalah keniscayaan bahwa seorang anak manusia akan menjalani masa ‘aqil baligh.
Masa baligh “بالغ” adalah masa di mana seorang anak mengalami perubahan kondisi biologisnya berupa pematangan organ reproduksi mampu untuk membuahi atau dibuahi. Sehingga dengan demikian saatnya ia menerima beban atau taklif yang disyariatkan oleh Islam yang sebelumnya tidak berlaku baginya. Maka ia pun disebut mukallaf atau orang yang dibebani. Sebelum mencapai masa mukallaf, seorang anak melalui proses masa tamyiz atau masa di mana ia mengenal perbedaan akan banyak hal di kehidupannya, yaitu ketika menginjak usia 7 tahun. Misal, seorang anak kecil tidak merasa malu bila tidak mengenakan pakaian di depan orang lain, sementara anak yang menginjak pada fase tamyiz akan merasa malu bila telanjang di depan orang lain. Anak pada fase ini disebut sebagai mumayyiz.
Di antara ciri bahwa anak telah sampai pada masa baligh adalah mimpi basah atau ihtilaam untuk anak lelaki.
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Dan apabila anak-anakmu telah ihtilaam, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (QS. An-Nuur [24]: 59)
Dan menstruasi untuk anak perempuan.
Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang mengalami haid, kecuali dengan memakai kerudung.” (HR. Abu Dawud no. 641, Ibnu Majah no. 655, shahih)
Atau bila tidak terjadi mimpi basah atau haid, maka seorang anak dikatakan baligh bila telah mencapai usia 15 tahun.
Nafi berkata “Telah menceritakan kapadaku Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menawarkan diri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ikut dalam perang Uhud. Saat itu umurnya masih empat belas tahun, namun beliau tidak mengijinkannya. Kemudian dia menawarkan lagi pada perang Khandaq. Saat itu usiaku lima belas tahun dan beliau mengijinkanku.”
Nafi’ berkata, “Aku menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Saat itu dia adalah khalifah, lalu aku menceritakan hadits ini. Dia berkata, “Ini adalah batas antara anak kecil dan orang dewasa (baligh).” Kemudian dia menulis kepada para gubernurnya untuk membebani kewajiban bagi mereka yang telah berusia lima belas tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara makna ‘Aqil عاقل"“ adalah berakal yang merupakan syarat dari berlakunya pembebanan syariat terhadap seorang anak yang sudah baligh. Bila ia tidak berakal, maka gugurlah semua pembebanan itu. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Diangkat pembebanan hukum dari tiga jenis (orang), orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh." (HR Bukhari). Tiga jenis orang tersebut dikatagorikan sebagai orang yang tidak berakal. Sehingga dalam hal ini, makna ‘aqil tidak berkaitan dengan kedewasaan atau kematangan (maturity) seseorang. ‘Aqil adalah sebuah penekanan bahwa ketika seorang anak memasuki masa baligh setelah menjalani masa tamyiz dan kemudian memiliki kemampuan mengenali segala macam perbedaan misal antara yang benar dan salah, perbedaan waktu, perbedaan tempat dan sebagainya maka ia pun dikatakan berakal.
Bila masa ‘aqil baligh secara alamiah akan dialami oleh seseorang tanpa harus diupayakan, berbeda dengan kedewasaan, kematangan atau kearifan seseorang tidak secara otomatis ada saat seseorang mencapai masa ‘aqil baligh. Kematangan (maturity) seseorang perlu didesain dan dibangun dan itu bisa terjadi di sepanjang usianya hingga dewasa dan menua. Hal ini tertuang pada makna rusydun “رشد” pada Al Qur’an surah AnNisa (4) : 6
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ فَإِنۡ ءَانَسۡتُم مِّنۡهُمۡ رُشۡدٗا فَٱدۡفَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَأۡكُلُوهَآ إِسۡرَافا وَبِدَارًا أَن يَكۡبَرُواْۚ وَمَن كَانَ غَنِيّا فَلۡيَسۡتَعۡفِفۡۖ وَمَن كَانَ فَقِيرا فَلۡيَأۡكُلۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبا
"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka *telah cerdas (pandai memelihara harta)*, maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas."
Tafsir Al Munir yang disusun oleh Prof. Dr. Wahbah AzZuhaili menjelaskan makna rusyd adalah keadaaan seseorang yang telah mencapai ‘aqil baligh dan memiliki kemampuan dan kapasitas yang mencukupi untuk mengelola harta secara baik dan benar. Sehingga dari sini bisa juga dipahami bahwa ada tahapan kematangan dan kedewasaan yang dinilai dari sisi kemampuan mengelola keuangan setelah seseorang mencapai masa ‘aqil baligh. Namun bukan sebuah tuntutan mutlak bahwa ketika seseorang telah mencapai masa ‘aqil baligh, maka dia harus sudah juga mencapai tahapan rusydun “رشد”.
Di sisi lain, pemaknaan kematangan dan kedewasaan juga dijelaskan Al Qur’an dengan kata asyuddun “اشد” yang di antaranya ada pada surah Yusuf (12) : 22
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Dan ketika dia *telah cukup dewasa* Kami berikan kepadanya kekuasaan dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Kata asyuddun “اشد” dimaknai sebagai masa di mana kematangan dan kedewasaan fisik dan psikisnya telah seimbang yaitu di antara usia 25 – 40 tahun. Hal ini diperkuat oleh ayat yang juga tertulis di dalamnya kata asyuddun “اشد” yaitu di surah Al Ahqaf (46) : 15
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي
فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Di antara hikmah dari ayat tersebut bahwa hingga usia 40 tahun, seseorang masih berhak mendapatkan perhatian, perawatan dan pendidikan dari orang tuanya. Sehingga kemudian ketika tiba usia puncak kedewasaan yaitu ia berdoa meluapkan rasa syukur atas pencapaian pada tahap kearifan dan berterimakasih atas segenap kasih sayang dan bimbingan orang tuanya.
Maka, dalam khazanah Islam proses tumbuh kembang seseorang dapat dikatagorikan sebagai berikut :
1. Tamyiz : seseorang sudah memasuki masa penguatan aspek kognitif yang sudah didahului dengan pendidikan psikomotorik dan afektif sehingga mampu mengenali dan membedakan hal yang baik dan tidak baik, pantas dan tidak pantas, waktu, tempat dan sebagainya. (Orangnya disebut mumayyiz)
2. ‘Aqil : seseorang yang memiliki kemampuan akal setelah menjalani fase tamyiz dan mampu secara sadar diberi kewajiban beban syariat.
3. Baligh : seseorang yang telah mencapai kematangan biologis di mana organ reproduksi sudah siap membuahi atau dibuahi. (Bila kondisi ‘aqil baligh terpenuhi pada diri seseorang, maka dia disebut mukallaf)
4. Rusydun : seseorang yang memiliki kemampuan kematangan psikologis untuk mengelola harta atau keuangan secara mandiri dan bertanggung jawab.
5. Asyuddun : seseorang yang telah mencapai fase puncak kematangan dan kedewasaan
Secara sederhana, pendidikan anak adalah keniscayaan tindakan sepanjang hayat. Karena hakikatnya, anak akan tetap disebut anak sampai usia renta sekalipun. Tahapan perkembangan dalam fase usia manusia adalah gambaran bagaimana orang tua berinteraksi dengan anak sesuai tahapannya. Sehingga proses pendidikan anak selalu mengikuti aspek perkembangan fisik dan psikis yang memanusiakan manusia.
Allahu a’lam bishshowab
Sumber
http://wulansaroso.com/2020/01/21/aqil-baligh-versus-kedewasaan/
Comments
Post a Comment